Minggu, 10 Mei 2009

Surat Sayang Dari Allah

Saat kau bangun pagi hari, AKU memandangmu dan berharap engkau akan berbicara kepada KU, walaupun hanya sepatah kata meminta pendapatKU atau bersyukur kepada KU atas sesuatu hal yang indah yang terjadi dalam hidupmu hari ini atau kemarin ......

Tetapi AKU melihat engkau begitu sibuk mempersiapkan diri untuk pergi bekerja ....... AKU kembali menanti saat engkau sedang bersiap, AKU tahu akan ada sedikit waktu bagimu untuk berhenti dan menyapaKU, tetapi engkau terlalu sibuk .........

Saat kau bangun pagi hari, AKU memandangmu dan berharap engkau akan berbicara kepada KU, walaupun hanya sepatah kata meminta pendapatKU atau bersyukur kepada KU atas sesuatu hal yang indah yang terjadi dalam hidupmu hari ini atau kemarin ......

Tetapi AKU melihat engkau begitu sibuk mempersiapkan diri untuk pergi bekerja ....... AKU kembali menanti saat engkau sedang bersiap, AKU tahu akan ada sedikit waktu bagimu untuk berhenti dan menyapaKU, tetapi engkau terlalu sibuk .........

Disatu tempat, engkau duduk disebuah kursi selama lima belas menit tanpa melakukan apapun. Kemudian AKU melihat engkau menggerakkan kakimu. AKU berfikir engkau akan berbicara kepadaKU tetapi engkau berlari ke telephone dan menghubungi seorang teman untuk mendengarkan kabar terbaru.

AKU melihatmu ketika engkau pergi bekerja dan AKU menanti dengan sabar sepanjang hari. Dengan semua kegiatanmu AKU berfikir engkau terlalu sibuk mengucapkan sesuatu kepadaKU.

Sebelum makan siang AKU melihatmu memandang sekeliling, mungkin engkau merasa malu untuk berbicara kepadaKU, itulah sebabnya mengapa engkau tidak menundukkan kepalamu. Engkau memandang tiga atau empat meja sekitarmu dan melihat beberapa temanmu berbicara dan menyebut namaKU dengan lembut sebelum menyantap rizki yang AKU berikan, tetapi engkau tidak melakukannya ....... Masih ada waktu yang tersisa dan AKU berharap engkau akan berbicara kepadaKU, meskipun saat engkau pulang kerumah kelihatannya seakan-akan banyak hal yang harus kau kerjakan.

Kumpulan Cerita Lucu

Gue Bilangin Ama Bapak Elo

Suatu hari ada seorang anak kecil mencuri mangga dari pohon milik tetangganya dan tertangkap basah oleh si pemilik pohon tersebut, lalu si pemilik pohon itu berkata dengan nada berteriak: "Hei! dasar bandel, ayo turun elu dari pohon mangga gue. Entar gue bilangin ama bapak elu ye!"

Tetapi si anak bukannya segera turun malah dia mendongak ke atas pohon sambil berkata: "Pak, cepetan turun, Pak, kita udeh ketahuan!"

Nggak bilang siapa-siapa

Ceritanya Pak Bedu jengkel banget. setiap kali pohon mangganya berbuah, pasti buahnya dicolong oleh orang-orang entah dari mana. Tapi kalau ditungguin malingnya gak pernah datang giliran ditinggal, mangganya hilang. Banyak lagi. Saking kesalnya Pak Bedu menaruh kertas besar di pohon mangganya dengan tulisan "Tuhan tahu siapa yang mengambil mangga ini."

Dengan lega ia meninggalkan pohon mangganya, berharap si pencopet terketuk hati nuraninya. Esok harinya lagi-lagi mangganya hilang, tapi tulisan di kertas itu bertambah "Tuhan tahu siapa yang mengambil mangga ini, tapi Tuhan tidak akan bilang siapa-siapa."

Nyebut Sep

Suatu hari, mang Usep, si penjual sayur keliling yang masih muda belia, ditabrak mobil. Si penabrak langsung ngacir meninggalkan si korban yang tergeletak di sisi jalan dan orang2 sekitar yang memaki-maki. Orang2 segera berkerumun menolong mang Usep, tukang sayur kesayangan mereka. Kondisi mang Usep sangat parah. Darah meleleh di sekujur tubuhnya. Nampaknya ajal sudah dekat. Seorang ibu, tidak tega melihat keadaannya. Beliau mendekat lalu berkata, "Nyebut... Sep... Nyebut...!" Maksudnya agar mang Usep mengingat nama-Nya di saat2 terakhir. Mang Usep, dengan kekuatan terakhirnya berusaha menggerakkan bibirnya. Dia lalu berkata dengan nyaring, "SAYUUUUUURRR. ........"

Memelas

Seorang anak berlari menemui ibunya di dapur.

Anak : "Bu, minta uang."

Ibu : "Buat apa?"

Anak : "Itu, di depan rumah ada orang yang berteriak memelas."

Ibu : "Apa teriakannya?"

Anak : "Bakso, Bakso!"

Tidak Melihat

"Apakah Saudara tidak melihat lampu merah?" tanya seorang polisi kepada seorang pengendara motor.

"Saya lihat, Pak."

"Lalu kenapa Saudara tidak berhenti?"

"Saya tidak melihat Bapak."

Mengenal Nama Syekh Siti Jenar 1

Syekh Siti Jenar (829-923 H/1348-1439C/1426-1517 M) , memiliki banyak nama :
San Ali (nama kecil pemberian
orangtua angkatnya, bukan Hasan Ali Anshar seperti banyak ditulis orang); Syekh
‘Abdul Jalil (nama yg diperoleh di Malaka, setelah menjadi ulama penyebar
Islam di sana); Syekh Jabaranta (nama yg dikenal di Palembang, Sumatera
dan daratan Malaka); Prabu Satmata (Gusti yg nampak oleh mata; nama yg
muncul dari keadaan kasyf atau mabuk spiritual; juga nama yg
diperkenalkan kepada murid dan pengikutnya); Syekh Lemah Abang atau
Lemah Bang (gelar yg diberikan masyarakat Lemah Abang, suatu komunitas dan
kampung model yg dipelopori Syekh Siti Jenar; melawan hegemoni kerajaan. Wajar
jika orang Cirebon tidak mengenal nama Syekh Siti Jenar, sebab di Cirebon nama
yg populer adalah Syekh Lemah Abang); Syekh Siti Jenar (nama filosofis
yg mengambarkan ajarannya tentang sangkan-paran, bahwa manusia secara biologis
hanya diciptakan dari sekedar tanah merah dan selebihnya adalah roh Allah; juga
nama yg dilekatkan oleh Sunan Bonang ketika memperkenalkannya kepada Dewan
Wali, pada kehadirannya di Jawa Tengah/Demak; juga nama Babad Cirebon); Syekh
Nurjati atau Pangran Panjunan atau Sunan Sasmita (nama dalam Babad Cirebon,
S.Z. Hadisutjipto); Syekh Siti Bang, serta Syekh Siti Brit; Syekh
Siti Luhung (nama-nama yg diberikan masyarakat Jawa Tengahan); Sunan
Kajenar (dalam sastra Islam-Jawa versi Surakarta baru, era R.Ng. Ranggawarsita
[1802-1873]); Syekh Wali Lanang Sejati; Syekh Jati Mulya; dan Syekh
Sunyata Jatimurti Susuhunan ing Lemah Abang. Siti Jenar lebih menunjukkan sebagai simbolisme. Ajaran utama Syekh Siti Jenar yakni ilmu kasampurnan, ilmu sangkan-paran ing
dumadi, asal muasal kejadian manusia, secara biologis diciptakan dari tanah
merah saja yg berfungsi sebagai wadah (tempat) persemayaman roh selama di dunia ini. Sehingga
jasad manusia tidak kekal akan membusuk kembali ketanah. Selebihnya adalah roh
Allah, yg setelah kemusnahan raganya akan menyatu kembali dengan keabadian. Ia
di sebut manungsa sebagai bentuk “manunggaling rasa” (menyatu rasa ke
dalam Tuhan). Dan karena surga serta neraka itu adalah untuk
derajad fisik maka keberadaan surga dan neraka adalah di dunia ini, sesuai
pernyataan populer bahwa dunia adalah penjara bagi orang mukmin. Menurut Syekh
Siti Jenar, dunia adalah neraka bagi orang yg menyatu-padu dgn Tuhan. Setelah
meninggal ia terbebas dari belenggu wadag-nya dan bebas bersatu dgn Tuhan. Di
dunia manunggalnya hamba dgn Tuhan sering terhalang oleh badan biologis yg
disertai nafsu-nafsunya. Itulah inti makna nama Syekh Siti Jenar.

Asal Usul Syekh Siti Jenar
Syekh Siti Jenar lahir sekitar tahun 829 H/1348 C/1426 M (Serat She Siti Jenar Ki Sasrawijaya; Atja, Purwaka Tjaruban Nagari
(Sedjarah Muladjadi Keradjan Tjirebon), Ikatan Karyawan Museum, Jakarta,
1972; P.S. Sulendraningrat, Purwaka Tjaruban Nagari, Bhatara, Jakarta, 1972; H.
Boedenani, Sejarah Sriwijaya, Terate, Bandung, 1976; Agus Sunyoto, Suluk
Abdul Jalil Perjalanan Rohani Syaikh Syekh Siti Jenar dan Sang Pembaharu,
LkiS, yogyakarta, 2003-2004; Sartono Kartodirjo dkk, [i]Sejarah Nasional
Indonesia, Depdikbud, Jakarta, 1976; Babad Banten; Olthof, W.L., Babad Tanah
Djawi. In Proza Javaansche Geschiedenis, ‘s-Gravenhage, M.Nijhoff, 1941;
raffles, Th.S., The History of Java, 2 vol, 1817), dilingkungan
Pakuwuan Caruban, pusat kota Caruban larang
waktu itu, yg sekarang lebih dikenal sebagai Astana japura, sebelah tenggara Cirebon.Suatu lingkungan
yg multi-etnis, multi-bahasa dan sebagai titik temu kebudayaan serta peradaban
berbagai suku.

Selama ini, silsilah Syekh Siti Jenar masih sangat kabur. Kekurangjelasan
asal-usul ini juga sama dgn kegelapan tahun kehidupan Syekh Siti Jenar sebagai
manusia sejarah.Pengaburan tentang silsilah, keluarga dan ajaran Beliau yg dilakukan oleh
penguasa muslim pada abad ke-16 hingga akhir abad ke-17. Penguasa merasa perlu
untuk “mengubur” segala yg berbau Syekh Siti Jenar akibat popularitasnya di
masyarakat yg mengalahkan dewan ulama serta ajaran resmi yg diakui Kerajaan
Islam waktu itu. Hal ini kemudian menjadi latar belakang munculnya kisah bahwa
Syekh Siti Jenar berasal dari cacing.Dalam sebuah naskah klasik, cerita yg masih sangat populer
tersebut dibantah secara tegas,

“Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking
cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon,
griya ing dhusun Lemahbang.”
[Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh
Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia
berdarah kecil saja (rakyat jelata), bertempat tinggal di desa Lemah Abang]
Perpustakaan Daerah Propinsi Jawa Tengah, 2002, hlm. 1>

Jadi Syekh Siti Jenar adalah manusia lumrah hanya
memang ia walau berasal dari kalangan bangsawan setelah kembali ke Jawa
menempuh hidup sebagai petani, yg saat itu, dipandang sebagai rakyat kecil oleh
struktur budaya Jawa, disamping sebagai wali penyebar Islam di Tanah Jawa.Syekh Siti Jenar yg memiliki nama kecil San Ali dan kemudian dikenal sebagai Syekh
‘Abdul Jalil
adalah putra seorang ulama asal Malaka, Syekh Datuk Shaleh bin Syekh ‘Isa
‘Alawi bin Ahmadsyah Jamaludin Husain bin Syekh ‘Abdullah Khannuddin bin Syekh
Sayid ‘Abdul Malikal-Qazam. Maulana ‘Abdullah Khannuddin adalah putra Syekh
‘Abdul Malik atau Asamat Khan. Nama terakhir ini adalah seorang Syekh kalangan
‘Alawi kesohor diAhmadabad,India ,yg berasal dari Handramaut.
Qazam adalah sebuah distrik berdekatan dgn kota Tarim di Hadramaut.Syekh ‘Abdul Malik adalah putra Syekh ‘Alawi, salah satu keluarga utama
keturunan ulama terkenal Syekh ‘Isa al-Muhajir al-Bashari al-‘Alawi, yg semua
keturunannya bertebaran ke berbagai pelosok dunia, menyiarkan agama Islam.
Syekh ‘Abdul Malik adalah penyebar agama Islam yg bersama keluarganya pindah
dari Tarim ke India. Jika diurut keatas, silsilah Syekh Siti Jenar berpuncak pada Sayidina Husain
bin ‘Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah. Dari silsilah yg ada,
diketahui pula bahwa ada dua kakek buyutnya yg menjadi mursyid thariqah
Syathariyah di Gujarat yg sangat dihormati, yakni Syekh Abdullah Khannuddin dan
Syekh Ahmadsyah Jalaluddin. Ahmadsyah Jalaluddin setelah dewasa pindah ke
Kamboja dan menjadi penyebar agama Islam disana.
Adapun Syekh Maulana ‘sa atau Syekh Datuk ‘Isa putra Syekh Ahmadsyah kemudian
bermukim di Malaka. Syekh Maulana ‘Isa memiliki dua orang putra, yaitu Syekh
Datuk Ahamad dan Syekh Datuk Shaleh. Ayah Syekh Siti Jenar adalah Syekh Datuk
Shaleh adalah ulama sunni asal Malaka yg kemudian menetap di Cirebon karena
ancaman politik di Kesultanan Malaka yg sedang dilanda kemelut kekuasaan pada
akhir tahun 1424 M, masa transisi kekuasaan Sultan Muhammad Iskandar Syah
kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sumber-sumber Malaka dan Palembang menyebut nama Syekh Siti Jenar dgn
sebutan Syekh Jabaranta dan Syekh ‘Abdul Jalil.

Pada akhir tahun 1425, Syekh Datuk Shaleh beserta istrinya sampai di Cirebon dan saat itu,
Syekh Siti Jenar masih berada dalam kandungan ibunya 3 bulan. Di Tanah Caruban
ini, sambil berdagang Syekh Datuk Shaleh memperkuat penyebaran Islam yg sudah
beberapa lama tersiar di seantero bumi Caruban, besama-sama dgn ulama kenamaan
Syekh Datuk Kahfi, putra Syehk Datuk Ahmad. Namun, baru dua bulan di Caruban,
pada tahun awal tahun 1426, Syekh Datuk Shaleh wafat.
Sejak itulah San Ali atau Syekh Siti Jenar kecil diasuh oleh Ki Danusela
serta penasihatnya, Ki Samadullah atau Pangeran Walangsungsang yg sedang
nyantri di Cirebon, dibawah asuhan Syekh datuk Kahfi.Jadi walaupun San Ali adalah keturunan ulama Malaka, dan lebih jauh lagi
keturunan Arab, namun sejak kecil lingkungan hidupnya adalah kultur Cirebon yg saat itu menjadi sebuah kota multikultur, heterogen dan sebagai basis
antarlintas perdagangan dunia waktu itu.
Saat itu Cirebon dgn Padepokan Giri Amparan Jatinya yg diasuh oleh seorang
ulama asal Makkah dan Malaka, Syekh Datuk Kahfi, telah mampu menjadi
salah satu pusat pengajaran Islam, dalam bidang fiqih dan ilmu ‘alat, serta
tasawuf. Sampai usia 20 tahun, San Ali mempelajari berbagai bidang agama Islam
dgn sepenuh hati, disertai dgn pendidikan otodidak bidang spiritual.

Mengenal Nama Syekh Siti Jenar 2

Padepokan Giri Amparan Jati

Setelah diasuh oleh Ki Danusela samapai usia 5 tahun, pada sekitar tahun 1431 M, Syekh Siti Jenar kecil (San Ali) diserahkan kepada Syekh Datuk Kahfi, pengasuh Pedepokan Giri Amparan Jati, agar dididik agama Islam yg berpusat diCirebon oleh Kerajaan Sunda di sebut sebagai musu(h) alit [musuh halus] Di Padepokan Giri Amparan Jati ini, San Ali menyelesaikan berbagai pelajaran keagamaan, terutama nahwu, sharaf, balaghah, ilmu tafsir, musthalah hadist, ushul fiqih dan manthiq. Ia menjadi santri generasi kedua. Sedang yg akan menjadi santri generasi ketiga adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Syarif Hidayatullah baru datang ke Cirebon, bersamaan dgn pulangnya Syekh Siti Jenar dari perantauannya di Timur Tengah sekitar tahun 1463, dalam status sebagai siswa Padepokan Giri Amparan Jati, dgn usia sekitar 17-an tahun. Pada tahun 1446 M, setelah 15 tahun penuh menimba ilmu di Padepokan Amparan Jati, ia bertekad untuk keluar pondok dan mulai berniat untuk mendalami kerohanian (sufi). Sebagai titik pijaknya, ia bertekad untuk mencari “sangkan-paran” dirinya. Tujuan pertmanya adalah Pajajaran yg dipenuhi oleh para pertapa dan ahli hikmah Hindu-Budha. Di Pajajaran, Syekh Siti Jenar mempelajari kitab Catur Viphala warisan Prabu Kertawijaya Majapahit. Inti dari kitab Catur Viphala ini mencakup empat pokok laku utama.

Pertama, nihsprha, adalah suatu keadaan di mana tidak adal lagi sesuatu yg ingin dicapai manusia. Kedua, nirhana, yaitu seseorang tidak lagi merasakan memiliki badan dan karenanya tidak ada lagi tujuan. Ketiga, niskala adalah proses rohani tinggi, “bersatu” dan melebur (fana’) dgn Dia Yang Hampa, Dia Yang Tak Terbayangkan, Tak Terpikirkan, Tak Terbandingkan. Sehingga dalam kondisi (hal) ini, “aku”menyatu dgn “Aku”. Dan keempat, sebagai kesudahan dari niskala adalah nirasraya, suatu keadaan jiwa yg meninggalkan niskala dan melebur ke Parama-Laukika (fana’ fi al-fana’), yakni dimensi tertinggi yg bebas dari segala bentuk keadaan, tak mempunyai ciri-ciri dan mengatasi “Aku”.Dari Pajajaran San Ali melanjutkan pengembaraannya menuju Palembang, menemui Aria Damar, seorang adipati, sekaligus pengamal sufi-kebatinan, santri Maulana Ibrahim Samarkandi. Pada masa tuanya, Aria Damar bermukim di tepi sungai Ogan, Kampung Pedamaran. Diperkirakan Syekh Siti Jenar berguru kepada Aria Damar antara tahun 1448-1450 M. bersama Aria Abdillah ini, San Ali mempelajari pengetahuan tentang hakikat ketunggalan alam semesta yg dijabarkan dari konsep “nurun ‘ala nur” (cahaya Maha Cahaya), atau yg kemudian dikenal sebagai kosmologi emanasi. Dari Palembang, San Ali melanjutkan perjalanan ke Malaka dan banyak bergaul dgn para bangsawan suku Tamil maupun Malayu. Dari hubungan baiknya itu, membawa San Ali untuk memasuki dunia bisnis dgn menjadi saudagar emas dan barang kelontong.Pergaulan di dunia bisnis tsb dimanfaatkan oleh San Ali untuk mempelajari berbagai karakter nafsu manusia, sekaligus untuk menguji laku zuhudnya ditengah gelimang harta. Selain menjadi saudagar, Syekh Siti jenar juga menyiarkan agama Islam yg oleh masyarakat setempat diberi gelar Syekh jabaranta. Di Malaka ini pula, ia bertemu dgn Datuk Musa, putra Syekh Datuk Ahmad. Dari uwaknya ini, Syekh Datuk Ahmad, San Ali dianugerahi nama keluarga dan nama ke-ulama-an Syekh Datuk ‘Abdul Jalil.

Dari perenungannya mengenai dunia nafsu manusia, hal ini membawa Syekh Siti Jenar menuai keberhasilan menaklukkan tujuh hijab, yg menjadi penghalang utama pendakian rohani seorang salik (pencari kebenaran). Tujuh hijab itu adalah lembah kasal (kemalasan naluri dan rohani manusia); jurang futur (nafsu menelan makhluk/orang lain); gurun malal (sikap mudah berputus asa dalam menempuh jalan rohani); gurun riya’ (bangga rohani); rimba sum’ah (pamer rohani); samudera ‘ujub(kesombongan intelektual dan kesombongan ragawi); dan benteng hajbun (penghalang akal dan nurani). Pencerahan Rohani di Baghdad

Setelah mengetahui bahwa dirinya merupakan salah satu dari keluarga besar ahlul bait (keturunan Rasulullah), Syekh Siti Jenar semakin memiliki keinginan kuat segera pergi ke Timur Tengah terutama pusat kota suci Makkah. Dalam perjalanan ini, dari pembicaraan mengenai hakikat sufi bersama ulamaMalaka asal Baghdad Ahmad al-Mubasyarah al-Tawalud di sepanjang perjalanan. Syekh Siti Jenar mampu menyimpan satu perbendaharaan baru, bagi perjalanan rohaninya yaitu “ke-Esaan af’al Allah”, yakni kesadaran bahwa setiap gerak dan segala peristiwa yg tergelar di alam semesta ini, baik yg terlihat maupun yg tidak terlihat pada hakikatnya adalah af’al Allah. Ini menambah semangatnya untuk mengetahui dan merasakan langsung bagaimana af’al Allah itu optimal bekerja dalam dirinya. Inilah pangkal pandangan yg dikemudian hari memunculkan tuduhan dari Dewan Wali, bahwa Syekh Siti Jenar menganut paham Jabariyah. Padahal bukan itu pemahaman yg dialami dan dirasakan Syekh Siti Jenar. Bukan pada dimensi perbuatan alam atau manusianya sebagai tolak titik pandang akan tetapi justru perbuatan Allah melalui iradah dan quradah-NYA yg bekerja melalui diri manusia, sebagai khalifah-NYA di alam lahir. Ia juga sampai pada suatu kesadaran bahwa semua yg nampak ada dan memiliki nama, pada hakikatnya hanya memiliki satu sumber nama, yakni Dia Yang Wujud dari segala yg maujud.

Sesampainya di Baghdad,ia menumpang di rumah keluarga besar Ahmad al-Tawalud. Disinilah cakrawala pengetahuan sufinya diasah tajam. Sebab di keluarga al-Tawalud tersedia banyak kitab-kitab ma’rifat dari para sufi kenamaan. Semua kitab itu adalah peninggalan kakek al-Tawalud, Syekh ‘Abdul Mubdi’ al-Baghdadi. Di Irak ini pula, Syekh Siti Jenar bersentuhan dgn paham Syi’ah Ja’fariyyah, yg di kenal sebagai madzhab ahl al-bayt.

Syekh Siti Jenar membaca dan mempelajari dgn Baik tradisi sufi dari al-Thawasinnya al-Hallaj (858-922), al-Bushtamii (w.874), Kitab al-Shidq-nya al-Kharaj (w.899), Kitab al-Ta’aruf al-Kalabadzi (w.995), Risalah-nya al-Qusyairi (w.1074), futuhat al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam-nya Ibnu ‘Arabi (1165-1240), Ihya’ Ulum al-Din dan kitab-kitab tasawuf al-Ghazali (w.1111), dan al-Jili (w.1428). secara kebetulan periode al-jili meninggal, Syekh Siti Jenar sudah berusia dua tahun. Sehingga saat itu pemikiran-permikiran al-Jili, merupakan hal yg masih sangat baru bagi komunitas Islam Indonesia. Dan sebenarnya Syekh Siti Jenar-lah yg pertama kali mengusung gagasan al-Hallaj dan terutama al-Jili ke Jawa. Sementara itu para wali anggota Dewan Wali menyebarluaskan ajaran Islam syar’i madzhabi yg ketat. Sebagian memang mengajarkan tasawuf, namun tasawuf tarekati, yg kebanyakkan beralur pada paham Imam Ghazali. Sayangnya, Syekh Siti Jenar tidak banyak menuliskan ajaran-ajarannya karena kesibukannya menyebarkan gagasan melalui lisan ke berbagai pelosok Tanah Jawa. Dalam catatan sastra suluk Jawa hanya ada 3 kitab karya Syekh Siti Jenar; Talmisan, Musakhaf (al-Mukasysyaf) dan Balal Mubarak. Masyarakat yg dibangunnya nanti dikenal sebagai komunitas Lemah Abang.

Dari sekian banyak kitab sufi yg dibaca dan dipahaminya, yg paling berkesan pada Syekh Siti Jenar adalah kitab Haqiqat al-Haqa’iq, al-Manazil al-Alahiyah dan al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhiri wa al-Awamil (Manusia Sempurna dalam Pengetahuan tenatang sesuatu yg pertama dan terakhir). Ketiga kitab tersebut, semuanya adalah puncak dari ulama sufi Syekh ‘Abdul Karim al-Jili.

Terutama kitab al-Insan al-Kamil, Syekh Siti Jenar kelak sekembalinya ke Jawa menyebarkan ajaran dan pandangan mengenai ilmu sangkan-paran sebagai titik pangkal paham kemanuggalannya. Konsep-konsep pamor, jumbuh dan manunggal dalam teologi-sufi Syekh Siti Jenar dipengaruhi oleh paham-paham puncak mistik al-Hallaj dan al-Jili, disamping itu karena proses pencarian spiritualnya yg memiliki ujung pemahaman yg mirip dgn secara praktis/’amali-al-Hallaj; dan secara filosofis mirip dgn al-Jili dan Ibnu ‘Arabi.

Syekh Siti Jenar menilai bahwa ungkapan-ungkapan yg digunakan al-Jili sangat sederhana, lugas, gampang dipahami namun tetap mendalam. Yg terpenting, memiliki banyak kemiripan dgn pengalaman rohani yg sudah dilewatkannya, serta yg akan ditempuhnya. Pada akhirnya nanti, sekembalinya ke Tanah Jawa, pengaruh ketiga kitab itu akan nampak nyata, dalam berbagai ungkapan mistik, ajaran serta khotbah-khotbahnya, yg banyak memunculkan guncangan-guncangan keagamaan dan politik di Jawa.

Syekh Siti Jenar banyak meluangkan waktu mengikuti dan mendengarkan konser-konser musik sufi yg digelar diberbagai sama’ khana. Sama’ khana adalah rumah-rumah tempat para sufi mendengarkan musik spiritual dan membiarkan dirinya hanyut dalam ekstase (wajd). Sama’ khana mulai bertumbuhan di Baghdad sejak abad ke-9 (Schimmel; 1986, hlm. 185). Pada masa itu grup musik sufi yg terkenal adalah al-Qawwal dgn penyanyi sufinya ‘Abdul Warid al-Wajd. Berbagai pengalaman spiritual dilaluinya di Baghdad sampai pada tingkatan fawa’id (memancarnya potensi pemahaman roh karena hijab ygmenyelubunginya telah tersingkap. Dgn ini seseorang akan menjadi berbeda dgn umumnya manusia); dan lawami’ (mengejawantahnya cahaya rohani akibat tersingkapnya fawa’id), tajaliyat melalui Roh al-haqq dan zawaid (terlimpahnya cahaya Ilahi ke dalam kalbu yg membuat seluruh rohaninya tercerahkan). Ia mengalami berbagai kasyf dan berbagai penyingkapan hijab dari nafsu-nafsunya. Disinilah Syekh Siti Jenar mendapatkan kenyataan memadukan pengalaman sufi dari kitab-kitab al-Hallaj, Ibnu ‘Arabi dan al-Jili. Bahkan setiap kali ia melantunkan dzikir dikedalaman lubuk hatinya dgn sendirinya ia merasakan denting dzikir danmenangkap suara dzikir yg berbunyi aneh, Subhani, alhamdu li, la ilaha illaana wa ana al-akbar, fa’budni (mahasuci aku, segala puji untukku, tiadatuhan selain aku, maha besar aku, sembahlah aku). Walaupun telinganyamendengarkan orang di sekitarnya membaca dzikir Subhana Allah, al-hamduliAllahi, la ilaha illa Allah, Allahu Akbar, fa’buduhu, namun suara yg didengar lubuk hatinya adalah dzikir nafsi, sebagai cerminan hasil man‘arafa bafsahu faqad ‘arafa Rabbahu tersebut. Sampai di sini, Syekh SitiJenar semakin memahami makna hadist Rasulullah “al-Insan sirri wa anasirruhu” (Manusia adalah Rahasia-Ku dan Aku adalah rahasianya).

Sebenarnya inti ajaran Syekh Siti Jenar sama dgn ajaran sufi ‘Abdul Qadir al-Jilani (w.1165), Ibnu ‘Arabi (560/1165-638-1240),Ma’ruf al-Karkhi, dan al-Jili. Hanya saja ketiga tokoh tsb mengalami nasib yg baik dalam artian, ajarannya tidak dipolitisasi, sehingga dalam kehidupannya di dunia tidak pernah mengalami intimidasi dan kekerasan sebagai korban politik dan menemui akhir hayat secara biasa.

Menurut R.Ng. Ranggawarsita (1802-1873) Pokok keilmuan Syekh Siti Jenar disebut sebagai “Ngelmu Ma’rifat Kasampurnaning Ngaurip” (ilmu ma’rifat kesempurnaan hidup [the science of ma’rifat to attain perfection of life]). Ranggawarsita menyebutkan basis ilmiah ajaran tersebut adalah renungan filsafat yg bentuk aplikasinya adalah metafisika dan etika.

Ajaran metafisika meliputi ontologi, kosmogoni dan antropologi. Ontologi berbicara tentang Ada dan tidak ada. Dalam hal ini, Syekh Siti Jenar merumuskan tentang the Reality of the Absolute being (hakikat Dzat Yang Maha Suci) yg memiliki sifat, nama dan perbuatan “Kami”. Dari “Kami” inilah kemudian muncul “ada” dan “keadaan” lain, yg sifat hakikinya adalah “Tunggal”. Manusia yg dalam hidupnya di alam kematian dunia ini disebut sebagai khalifatullah (wakil Allah=pecahan ketunggalan Allah), dan kemudian ia harus berwadah dalam bentuk jisim (jasmani) ia harus menyandang gelar “kawula”, sebab jasad harus melakukan aktivitas untuk memelihara jasadnya dari kerusakan dan untuk menunda kematian yg disebut :"ngibadah” kepada yg menyediakan raga (Gusti). Maka kawula hanya memiliki satu tempat kembali, yakni Allah, sebagai asalnya. Maka manusia tidak boleh terjebak dalam wadah yg hanya berfungsi sementara sebagai “wadah” Roh Ilahi. Justru Roh Ilahi inilah yg harus dijaga guna menuju ketunggalan kembali (Manunggaling Kawula Gusti).

Template by : kendhin x-template.blogspot.com