Sabtu, 22 Mei 2010

Pemaaf sifat mulia

Salah satu di antara ajaran Islam yang sangat agung adalah ajaran untuk saling memaafkan. Memafkan berarti orang lain yang yang mempunyai kesalahan kemudian kita memberi maaf. Sementara kalau kita yang mepunyai kesalahan maka wajib bagi kita untuk meminta maaf.

Orang yang mulia adalah orang yang suka memafkan. Dalam sebuah hadis yang di riwayatkan oleh Abu Hurairah ra, bahwasannya Rasulullah saw bersabda:

Musa bin Imran as, berkata: Wahai Tuhanku diantara hamba-hamba-Mu, siapakah orang yang paling mulia dalam pandangan-Mu ? Allah Azza Wajalla menjawab, “ Orang yang memaafkan walaupun ia mampu membalas. “ ( HR. Imam Baihaqi )

Memafkan sesorang yang kita tidak mampu membalasnya adalah baik dan sedikit wajar, karena posisi kita pada saat itu lemah. Sementara memaafkan seseorang yang kita mampu untuk membalasnya adalah lebih baik dan lebih mulia karena pada saat itu posisi kita kuat dan bisa melakukan apa saja. Ketika seseorang berusaha untuk menjadi Pemaaf berarti ia telah berusaha untuk meniru sipat Allah Al-‘Afuwwu yang maha memafkan. Seorang yang memaafkan orang lain adalah orang yang menghapus luka hatinya akibat kesalahan yang di lakukan orang lain terhadapnya. M.Quraish Shihab dalam tafsirnya al-Misbah mengatakan, dalam kontek menghadapi kesalahan orang lain Allah swt menujukan tiga kelas manusia atau jenjang sikapnya sebagaimana yang terdapat dalam surat ali imran ayat 34, pertama : yang mampu menahan amarah atau al-Kazhimiin, yang bermakna “ penuh dan menutupnya dengan rapat “ seperti wadah yang penuh dengan air lalu di tutup rapat agar tidak tumpah. Ini mengisyaratkan bahwa perasaan tidak bersahabat masih memenuhi hati yang bersangkutan, pikirannya masih menuntut balas, tetapi ia tdak memperturutkan ajakan hati dan pikiran itu, ia menahan amarah. Ia menahan diri sehingga tidak mencetuskan kata kata buruk atau perbuatan negatif. Di atas tingkat ini adalah yang memaafkan atau al-Aafin, kata ini terambil dari kata al-Afwu yang biasa di terjemahkan dengan kata “ maaf “ kata ini antara lain berarti menghapus. Seseorang yang memaafkan orang lain adalah yang menghapus bekas luka hatinya akibat kesalahan yang di lakukan orang lain terhadpnya. Kalau dalam peringkat pertama di atas, yang bersangkutan baru sampai pada tahap menahan amarah, kendati bekas bekas luka hati itu masih memenuhi hatinya, maka pada tahap ini, Yang bersangkutan telah menghapus bekas bekas luka hati itu. Kini seakan-akan tidak pernah terjadi satu kesalahan atau suatu apapun. Namun, karena pada tahap ini, seakan akan tidak pernah terjadi sesuatu, maka boleh jadi juga tidak terjalin hubungan. Untuk mencapai tingkat ketiga, Allah mengingatkan bahwa yang di sukainya adalah orang orang yang berbuat kebajkan, yakni bukan yang sekedar menahan amarah atau memaafkan, tetapi justru yang berbuat baik kepada yang pernah melakukan kesalahan. Semua orang bisa bersabar apabila ia terpaksa bersabar karena tidak memiliki kemampuan lain untuk membalas. Tetapi yang lebih sempurna adalah apabila ia mampu bersabar padahal ia mempunyai kekuatan untuk marah atau melakukan pembalasan. Telah diterangkan dalam sebuah hadis bahwa di sisi Allah swt, tidak ada perkara yang lebih disukai selain dari melihat manusia yang menahan kemarahannya. Allah swt, kemudian memenuhi batin orang itu dengan keimanan. Di dalam hadis lain dikatakan barangsiapa mempunyai kekuatan untuk membalas, namun dia menahan kemarahannya, maka pada hari kiamat, Allah akan memanggil dia di hadapan semua makhluk dan menyuruhnya, “ Pilihlah bidadari-bidadari yang kamu sukai.”

Rasulullah saw. bersabda, “ orang yang paling kuat bukanlah orang yang dapat menjatuhkan orang kuat lainnya, tetapi orang kuat kuat yang sejati adalah yang dapat mengendalikan dirinya ketika marah”. Ali bin Imam Husain rah.a. suatu ketika sedang ditolong oleh hamba sahayanya untuk mengambil wudhu. Tiba-tiba lota (cerek) airnya jatuh dari tangan hamba sahaya itu dan mencederai wajah Ali rah.a. Ketika beliau melihat hamba sahaya itu dengan pandangan marah, hamba sahaya itu berkata bahwa Allah Swt, berfirman: “dan orang orang yang menahan amarahnya”.

Ali rah.a. kemudian berkata, “Aku menelan kemarahanku.”

Lalu hamba sahaya itu membaca lagi: “dan memaafkan kesalahan orang lain”.

Beliau menjawab, “Mudah-mudahan Allah mengampuni engkau.”

Lalu dia membaca: “dan Allah menyukai orang orang yang berbuat kebaikan”.

Maka beliau berkata, “Engkau sekarang telah bebas.”

Suatu ketika hamba lelaki beliau datang membawa mangkuk berisi kuah daging yang masih panas untuk disajikan kepada tamu. Tiba-tiba mangkuk itu jatuh dari tangannya dan menimpa kepala anak beliau yang masih kecil sehingga anak itu meninggal dunia seketika. Beliau kemudian berkata kepada hamba tersebut, “Kamu telah bebas”. Kemudian beliau bersiap-siap untuk memandikan dan mengafani anaknya. Sungguh berbahagia orang yang suka memberi maaf, tidak pernah menyimpan dendam di dalam hatinya. Karena ketika seseorang menyimpan dendam dalam hati, maka secara tidak sadar ia telah menyiksa dirinya. Semoga kita menjadi hamba-hamba Allah yang pemaaf, sehingga ikut andil dalam menciptakan suasana dunia yang damai , aman dan sentosa. Amin…

Pe

Menakar hukum FB dalam Islam

Beberapa waktu lalu, tersiar kabar bahwa salah satu organisasi Islam di Jawa Timur mewacanakan pengharaman facebook. Tentu saja kabar ini segera menarik respon banyak kalangan, baik dari masyarakat umum maupun Majelis Ulama Indonesia. Dalam wawancara di sebuah stasiun televisi, ketua MUI, H. Amidhan, membantah kalau pengharaman itu berasal dari MUI. Sementara, pendapat masyarakat yang diwawancarai mengenai pengharaman facebook oleh ulama ditanggapi dingin. Menurutnya, ulama yang mengharamkan facebook “kurang kerjaan”.

Ormas Islam dan Fatwa

Dalam Al Qur’an, terdapat perintah agar suatu masyarakat Islam mempunyai sekumpulan orang ahli dalam bidang agama. Sekelompok orang ini difasilitasi oleh masyarakat tersebut untuk menjadi kelompok cendekia. Tugas mereka setelah selesai belajar adalah kembali ke masyarakat untuk mengajarkan agama kepada mereka.

Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS At Taubah [9]: 122)

www.sjdowntown.com

www.sjdowntown.com
Ayat ini setidaknya memberi ruang bagi kelompok-kelompok masyarakat untuk menyusun sendiri program keagamaan mereka. Sehingga, hampir setiap organisasi masyarakat yang berbasis agama Islam mempunyai semacam ‘majelis fatwa’. NU dan Muhammadiyah misalnya masing-masing mempunyai majelis fatwa dan majelis tarjih. Demikian juga dengan ormas Islam lainnya. Tujuan dari majelis atau dewan fatwa ini adalah untuk merumuskan hukum atas suatu masalah dengan metode istinbath (perumusan) hukum yang sesuai dengan faham masing-masing.

Selain majelis fatwa, beberapa organisasi dan pesantren juga mempunyai program rutin yang disebut pembahasan masalah (bahtsul masa’il). Kegiatan ini biasanya terbuka untuk umum dengan menghadirkan beberapa ahli sebagai narasumber. Topik yang dibahas bermacam-macam. Baik persoalan yang baru muncul maupun persoalan lama yang dianggap masih menyisakan perdebatan. Hasil dari pembahasan ini ada yang di publikasikan ke luar institusi, ada pula yang cukup hanya menjadi hasil kajian internal.

Hasil dari perumusan hukum yang dihasilkan oleh majelis fatwa dan kesimpulan dari bahtsul masa’il oleh institutsi Islam bukanlah fatwa secara mutlak. Sebab fatwa harus dikeluarkan oleh institusi yang resmi dan mengikat secara menyeluruh kepada umat Islam. Oleh karena itu, apapun yang dihasilkan, baik oleh mejelis fatwa dari satu ormas Islam maupun hasil kajian dari sebuah institusi keislaman seyogyanya dilimpahkan kepada Majelis Ulama Indonesia, sebagai institusi resmi di Indoensia. MUI inilah yang mempunyai kapasitas mengeluarkan fatwa.

Facebook dan Etika Islam

Facebook merupakan sebuah fitur yang memungkinkan seseorang berkomunikasi dengan banyak orang secara sangat mudah. Facebook menjadikan pertemanan semakin mudah dan dekat. Seseorang di Jakarta dapat memperoleh teman atau kenalan di New York dan berkomunikasi dengannya hampir di setiap saat dengan biaya sangat murah. Facebook juga memungkinkan mereka saling bertukar foto dan profil masing-masing sehingga lebih saling mengenal jauh lebih baik dari sekedar berkomunikasi lewat telpon.

Bagaimana dengan etika dalam komunikasi facebook? Sama halnya dengan komunikasi via telepon yang sudah lebih dulu digunakan, komunikasi via facebook juga menuntut etika tertentu. Meski secara teknis tidak ada pembatasan dalam hal berucap atau penayangan profil –bisa saja seseorang berkata-kata tidak senonoh atau menampilkan profil yang kurang bersusila- akan tetapi sanksi moral yang diperoleh justru lebih berat dan lebih cepat. Sebab dalam facebook, profil seseorang yang sudah menjadi “teman” dapat dilihat dan diakses oleh temannya yang lain. Karena itu, seseorang akan berpikir seribu kali jika dia ingin menampilkan sesuatu yang “jorok”. Itu sama saja dengan bertelanjang di muka umum.

Dalam etika Islam, sangat tidak disukai (baca: dilarang) seorang pria dan wanita yang bukan muhrim berdua-duaan. Rasulullah saw. Bersabda: “Janganlah sekali-kali seseorang di antara kalian bersunyi-sunyi dengan seorang perempuan lain kecuali disertai muhrimnya”. HR Bukhari dan Muslim.

Hadis di atas mengisyaratkan suatu prinsip dasar etika pergaulan dalam Islam berkaitan dengan hubungan laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim. Prinsip tersebut adalah larangan pria dan wanita yang bukan muhrim untuk berduaan di tempat yang sunyi. Kalau kasusnya ditarik kepada kasus facebook, maka pertanyaannya adalah apakah berkomunikasi dalam facebook itu sama dengan atau sama bahayanya dengan berduaan di tempat sunyi. Jika sama, tentu hukumnya akan sama pula. Jika tidak, maka hukumnya tidak bisa dipersamakan. Dalam metodologi hukum Islam, metode ini disebut analogi atau qiyas.

Prinsip etika Islam lainnya dalam bergaul adalah larangan bergunjing, menhasut, berkata porno, serta perintah untuk mengucapkan sapaan yang baik, menjawab salam dan seterusnya. Prinsip-prinsip ini jika dapat diterapkan dalam pergaulan dan komunikasi facebook tentu menjadi pergaulan yang baik.

Kesimpulan
Dari paparan di atas, dapat difahami bahwa facebook sebagai alat dan media komunikasi menempati posisi bebas nilai. Seperti halnya telepon, surat menyurat, dan sebagainya, facebook tidak menempati posisi halal atau haram. Tatacara berkomunikasi, isi komunikasi, serta profil yang ditampilkan, itulah yang bisa dinilai. Apakah sesuai dengan norma dan etika Islam atau tidak. Seorang muslim selayaknya memperhatikan nilai-nilai akhlak Islam dalam setiap aktivitasnya, termasuk dalam menggunakan facebook.[]

Template by : kendhin x-template.blogspot.com